Hukum Nikah Siri dalam Islam
Fenomena nikah siri akhir-akhir ini mulai terangkat kembali, menjadi bahan pembicaraan di portal-portal berita dan di seluruh media, baik itu di televisi ataupun media sosial. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi maraknya fenomena tersebut. Di antaranya: faktor ekonomi, hamil di luar nikah, ingin melakukan poligami secara diam-diam atau karena calon mempelai belum mencapai umur minimal yang ditetapkan oleh undang-undang dan karena sebab-sebab lainnya.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ‘nikah siri’ memiliki definisi,
“Pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin atau pegawai masjid dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama (KUA), dan sah menurut agama Islam.”
Nikah siri dapat dipahami juga sebagai sebuah pernikahan yang hanya sah secara hukum agama Islam, namun belum tercatat di Kantor Urusan Agama milik Negara. Selama syarat-syarat sah dan rukun nikahnya terpenuhi, maka akad pernikahannya tersebut sah dan menjadikan sebuah hubungan yang semula haram untuk dilakukan menjadi halal untuk dilakukan sebagai suami dan istri.
Pengertian nikah siri di dalam Islam memiliki makna yang lebih luas, karena mencakup pernikahan yang sah dan juga yang tidak sah. “Siri” secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu sirrun yang berarti rahasia, sunyi, diam, tersembunyi. Lawan kata dari ’alaniyyah, yaitu terang-terangan. Melalui akar kata inilah, ‘nikah siri’ diartikan sebagai nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan.
Sebelum memahami lebih jauh tentang nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu bahwa tidak semua pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak diumumkan diakui dan dianggap sah oleh syariat Islam. Untuk menghukumi sah atau tidaknya nikah siri, perlu kita ketahui terlebih dahulu dua hal berikut ini:
Pertama: Rukun dan syarat nikah siri dalam Islam.
Kedua: Adanya syariat dan anjuran untuk mengumumkan dan memeriahkan pernikahan.
Rukun dan syarat nikah siri dalam Islam
Untuk menentukan sah atau tidaknya hukum nikah siri (nikah yang disembunyikan) dalam ajaran Islam, maka kita perlu memastikan apakah semua rukun dan syaratnya telah terpenuhi ataukah belum. Adapun rukun dan syarat sahnya nikah siri, maka sama seperti syarat dan rukun menikah secara umum dalam ajaran Islam yaitu,
Pertama: Keberadaan calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan
Untuk calon pengantin pria, maka memiliki persyaratan, seperti: beragama Islam, tidak sedang dalam keadaan ihram, berdasarkan keinginannya sendiri dan bukan paksaan, identitas jelas, mengetahui nama calon istrinya ataupun sosoknya ataupun sifatnya, mengetahui dengan jelas bahwa calonnya bukan dari kategori perempuan yang haram untuk dinikahi (misalnya adanya pertalian darah ataupun saudara sepersusuan), serta jelas kelaminnya bahwa ia laki-laki (tidak memiliki kelainan kelamin).
Untuk calon pengantin perempuan, maka harus memenuhi persyaratan-persyaratan, seperti: tidak sedang dalam keadaan ihram, identitas jelas, berstatus single (tidak dalam status menikah dengan orang lain), dan tidak sedang dalam masa idah dari pernikahannya dengan orang lain.
Kedua: Keberadaan wali nikah dan adanya izin dari wali nikah bagi mempelai perempuan
Baik wali nikahnya tersebut dari jalur nasab ataupun dari wali hakim. Adapun syarat yang harus terpenuhi sehingga seseorang dapat menjadi wali nikah, yaitu: berdasarkan keinginannya sendiri, merdeka (bukan budak), laki-laki, dewasa (sudah balig), tidak disifati dengan kefasikan, tidak mengalami gangguan akal, baik itu karena tua (pikun) ataupun karena gila, tidak bodoh dan dungu, dan tidak dalam kondisi ihram. Wali seorang perempuan adalah ayahnya ataupun pewaris laki-laki (asabat) untuk seorang perempuan.
Ketiga: Hadirnya dua orang saksi
Di mana saksi ini nantinya yang akan menentukan apakah pernikahannya sah ataukah tidak. Sedangkan syaratnya: beragama Islam, laki-laki (menurut mayoritas mazhab), sudah dewasa, kompeten di bidang persaksian, dan ia tidak ditunjuk sebagai wali nikah (tidak bisa dirangkap pada diri seseorang, dia menjadi wali sekaligus saksi). Disebutkan di dalam hadis sahih,
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ
“Tidak (sah) nikah, kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.” (HR. Thabrani. Hadis ini juga terdapat dalam kitab Shahih Al-Jami’, no. 7558.)
Keempat: Ijab kabul
Yaitu, proses akad yang dilakukan calon pengantin pria dan wali dalam prosesi pernikahan.
Syarat-syaratnya adalah: menggunakan kata-kata zawwajtuka atau ankahtuka ataupun yang terbentuk dari keduanya maupun terjemahnya ke bahasa lain, membaca ijab dan kabul dengan jelas dan lantang, tidak ada jeda antara keduanya, secara kontan (tanpa syarat apa pun dan untuk saat itu juga tidak terikat dengan waktu).
Anjuran untuk mengumumkan dan meramaikan acara pernikahan
Disunahkan untuk mengumumkan akad pernikahan dan ini merupakan kesepakatan mazhab yang empat’ Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Hanafiyyah.
Hal ini sebagaimana terdapat di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antaranya adalah hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia bercerita,
أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ رأى عبدَ الرَّحمنِ بنَ عوفٍ وعليْهِ رِدعُ زعفرانٍ فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ مَهيِم فقالَ يا رسولَ اللَّهِ تزوَّجتُ امرأةً قالَ ما أصدقتَها قالَ وَزنَ نواةٍ من ذَهبٍ قالَ أولِم ولو بشاةٍ
“Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melihat pada pakaian Abdurrahman bin Auf ada bekas minyak wangi. Nabi bertanya, ‘Ada apa ini Abdurrahman?’ Abdurrahman menjawab, ‘Saya baru menikahi seorang wanita.’ Rasulullah bertanya, ‘Mahar apa yang engkau berikan?’ Abdurrahman menjawab, ‘Mahar berupa emas seberat biji kurma.’ Nabi bersabda, ‘Kalau begitu, adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.’ ” (HR. Abu Dawud no. 2109, Bukhari no. 3937, dan Muslim no. 1427)
Seorang shahabiyyat wanita bernama Ar-Rubai’ binti Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha mengisahkan,
دَخَلَ عَلَيَّ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ غَداةَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ علَى فِراشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، وجُوَيْرِياتٌ يَضْرِبْنَ بالدُّفِّ، يَنْدُبْنَ مَن قُتِلَ مِن آبائِهِنَّ يَومَ بَدْرٍ، حتَّى قالَتْ جارِيَةٌ: وفينا نَبِيٌّ يَعْلَمُ ما في غَدٍ. فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: لا تَقُولِي هَكَذا، وقُولِي ما كُنْتِ تَقُولِينَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemuiku pada pagi hari setelah saya digauli. Beliau duduk pada tempat dudukku seperti tempat dudukmu itu dariku (mengisyaratkan jauhnya jarak mereka berdua tatkala mereka berbicara). Anak-anak perempuan kami memukul gendang dan menyanjung orang-orang tua kami yang telah terbunuh pada Perang Badr. Salah seorang dari mereka ada yang mendendangkan (syair), ‘Di antara kami ada seorang Nabi yang mengetahui hari esok hari.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berhentilah (diamlah) dari ucapan itu, katakanlah sebagaimana yang kamu ucapkan tadi.’ ” (HR. Bukhari no. 4001)
Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan dan menyetujui adanya pengumuman pernikahan dan bentuk meramaikannya dengan duff (alat tabuh gendang/rebana yang ditabuh oleh anak-anak perempuan) dan hal-hal lainnya yang diperbolehkan, dan beliau juga menghadiri beberapa acara tersebut.
Di dalam mengumumkan pernikahan dan meramaikannya sehingga banyak orang yang mengetahuinya serta mencatatkannya kepada pihak berwenang, memiliki banyak sekali hikmah dan faedah. Di antaranya adalah menjauhkan seseorang dari persangkaan buruk akan adanya perzinaan antara kedua mempelai yang menikah tersebut. Begitu juga, perbuatan ini akan menjaga kehormatan nasab dan anak keturunannya. Karena sebuah pernikahan yang belum diakui oleh penyelenggara negara, maka akan memiliki dampak negatif kepada status anak yang dilahirkannya.
Beberapa macam nikah siri beserta hukumnya
Pertama: Nikah siri tanpa wali
Biasanya, hal ini terjadi karena wali dari pihak perempuan belum memberikan persetujuan dan restunya, atau karena kedua calon mempelai menganggap sahnya sebuah pernikahan tanpa adanya wali atau bisa jadi hal ini dilakukan hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan ketentuan syariat agama.
Dalam kasus seperti, telah jelas bahwa hukum pernikahannya tidak sah karena keberadaan wali, baik itu wali nasab ataupun wali hakim merupakan syarat mutlak. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidaklah sah sebuah pernikahan, kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi.” (Disebutkan oleh Syekh Albani dalam kitabnya Shahih Al-Jami’, no. 7557)
Beliau juga bersabda,
أيُّما امرأةٍ نَكَحَت بغيرِ إذنِ مَواليها ، فنِكاحُها باطلٌ ، ثلاثَ مرَّاتٍ
“Setiap wanita yang menikah tanpa seizin salah satu dari walinya, maka pernikahannya batal/rusak. (Nabi mengatakannya sebanyak tiga kali).” (HR. Abu Dawud no. 2083)
Kedua: Nikah siri tanpa adanya saksi
Apabila telah benar bahwa kedua belah pihak melakukan akad nikah dengan kehadiran wali dari pihak perempuan, namun di dalam pelaksanaannya tidak menghadirkan saksi yang sah atau kurang di dalam jumlah saksinya, maka pernikahan semacam ini dihukumi tidak sah juga. Sebagaimana disebutkan di dalam kitab Al-Muwattha’,
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أُتِيَ بِنِكَاحٍ لَمْ يَشْهَدْ عَلَيْهِ إِلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ، فَقَالَ: هَذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْتُ تَقَدَّمْتُ فِيهِ لَرَجَمْتُ
“Bahwasanya Umar bin Khattab suatu hari pernah dihadapkan kepada beliau sebuah kasus pernikahan yang tidak disaksikan, kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Maka, beliau mengatakan, ‘Ini merupakan salah satu bentuk nikah siri dan aku tidak mengizinkan pernikahan semacam ini. Seandainya saya menemuinya, maka saya akan merajamnya.’ ” (Al-Muwattha’, 4:57)
Ketiga: Pernikahan yang dihadiri wali dan saksi, namun dilaksanakan sembunyi-sembunyi
Mengenai hukum nikah semacam ini, maka para ulama berselisih pendapat.
Pendapat pertama: pernikahannya tidak sah. Ini adalah pendapat Imam Malik dan kebanyakan para ahli hadis dan merupakan beberapa riwayat Ahmad.
Pendapat kedua: pernikahannya sah, namun menyelisihi yang lebih utama, karena sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, mengumumkan pernikahan merupakan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah pendapat mayoritas ulama Hanafi, Syafi’iyyah, dan Hambali.
Pendapat kedua juga menyampaikan,
“Jika pernikahan semacam ini menimbulkan kemudaratan dan mara bahaya serta berpotensi mengundang fitnah di hati kaum muslimin, terlebih lagi terkadang akan mempengaruhi status anak dari hasil pernikahan tersebut dan juga seringkali akan merugikan pihak istri, maka hukumnya juga haram sebagaimana pendapat yang pertama.” (Taqrib Fatawa Ibnu Taimiyyah, oleh Syekh Ahmad bin Nashir At-Thayyar)
Keempat: Pernikahan dengan adanya wali, saksi sah dan diumumkan, namun tidak tercatat di KUA
Inilah di antara bentuk nikah siri yang banyak terjadi di sekitar kita, entah itu bermula dari pernikahan usia dini sehingga belum dapat didaftarkan ataupun karena poligami dan sebab lainnya.
Dalam kasus seperti ini, selama semua persyaratan telah terpenuhi, baik itu dengan adanya wali, kesaksian dua orang saksi laki-laki lalu disempurnakan dengan adanya pengumuman dan pemberitaan, maka hukumnya menurut syariat Islam adalah sah. Namun, secara hukum negara belumlah dianggap sah.
Perlu kita sadari bersama bahwa pemerintah telah mewajibkan setiap pasangan yang akan menikah untuk mencatatkannya kepada pihak yang berwenang, dan tentu saja ini merupakan perintah dan kewajiban yang diambil pemerintah sebagai tindakan preventif untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.
Menaati pemerintah selama tidak dalam kemaksiatan kepada Allah Ta’ala adalah wajib. Mereka yang tidak melaksanakannya dan tidak menaatinya, maka sesungguhnya ia telah berdosa dan melakukan kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri (pemerintah) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 59)
Sebuah pasangan yang tidak mendaftarkan pernikahannya kepada KUA, minimalnya akan mendapatkan tiga dampak negatif:
Pertama: Status anak hasil dari nikah siri disamakan dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan dalam hukum negara.
Berdasarkan Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (menurut hukum negara) sehingga anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Disebutkan juga bahwa anak yang lahir dari perkawinan siri disamakan statusnya dengan anak luar kawin selama pihak terkait tidak mengajukan permohonannya dan mendaftarkannya ke Pengadilan Agama. Akibatnya, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak tersebut baru bisa mendapatkan hubungan perdata dengan laki-laki yang menjadi ayahnya jika dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum dapat membuktikan bahwa anak tersebut mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Kedua: Kesulitan terkait kepentingan kepengurusan dokumen kependudukan
Sebagai anak yang dianggap lahir di luar perkawinan yang sah dari kedua orang tuanya, tetap bisa mendapatkan akta kelahiran melalui pencatatan kelahiran. Hanya saja, di dalam akta kelahiran tersebut hanya tercantum nama ibunya. Jika ingin mencantumkan nama ayahnya juga dalam akta kelahiran, diperlukan penetapan pengadilan sebagai bentuk pengakuan anak tersebut oleh ayahnya.
Ketiga: Tidak ada kekuatan hukum bagi istri dan anak dalam hak waris.
Dalam Pasal 863 dan Pasal 873 KUHP, anak luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang DIAKUI oleh ayahnya (pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya. Sementara itu, anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh pewaris, yaitu ayahnya, maka hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya.
Meskipun di dalam Islam ia tetap mendapatkan hak waris, namun jika suatu saat terjadi persengketaan dalam hal waris dan sengketa tersebut diangkat ke pengadilan, maka dirinya tidak memiliki kekuatan hukum di dalam pengadilan tersebut.
Seorang muslim perlu kiranya untuk berhati-hati di dalam masalah ini, dan hendaknya mengambil cara yang paling utama. Yaitu, tidaklah ia melangsungkan sebuah akad nikah, kecuali telah terpenuhi rukun-rukunnya dan syarat-syaratnya lalu mengumumkan pernikahannya tersebut kepada khalayak ramai serta mencatatkannya di lembaga KUA. Karena inilah cara yang disunahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya dan cara yang akan mendatangkan maslahat serta menghindarkan kerusakan dan kerugian.
Dapat kita ketahui juga bahwa menyembunyikan pernikahan, seringkali akan menimbulkan sebuah kemudaratan, baik itu kepada salah satu pihak yang mengikat akad tersebut, ataupun nanti kepada anak-anak mereka. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengusahakan yang terbaik dalam hal akad nikah ini. Wallahu A’lam Bis-shawab.
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel asli: https://muslim.or.id/101551-hukum-nikah-siri-dalam-islam.html